Selasa, 15 Februari 2011

Ketiak Tante Nita (part I)

Wanita matang. Aku selalu tertarik pada mereka.Dua orang di antaranya adalah teman mamaku di komplek mewah Jakarta, dimana perumahan ini merupakan cluster yang ditumbuhi tak lebih dari 25 rumah. Satu lagi adalah teman mamaku sewaktu kuliah. Dua wanita lainnya kukenal di masa kuliah dan kerja praktik menjelang pembuatan skripsi. Semua nama lokasi, orang, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan privasi kupalsukan (termasuk namaku). Sebut saja aku Roy. Dan inilah bagian pertama dari fantasiku yang telah mewujud nyata.
Tante Nita berusia 38 tahun. Pemilik salon kecantikan di komplekku ini. peranakan China-Sunda-Jawa dengan sedikit garis turunan arab terpampang dalam rona wajhnya. Postur tubuhnya tinggi. Payudaranya gede, mengkal, meski agak turun mirip pepaya. Pinggangnya ramping. Bokongnya bulat, kencang, mendongak, kalau berjalan mengingatkanku pada bebek yang megal-megol.
Tungkai Tante Nita panjang dan indah menyerupai kaki belalang. Betis mulus itu berbentuk bulir padi yang berisi, ditumbuhi rambut-rambut halus yang kontras dengan warna kulitnya yang putih cemerlang. Pahanya makin ke atas makin membesar dan rambut halus tadi pun kian jelas menghias.
Tante Nita sering datang ke rumah, dia berteman dengan ibuku dan sama-sama aktif di arisan komplek. Meski kaya dan serba berkecukupan, wanita yang sifatnya keibuan ini sangat suka bergaul dan tidak sombong. Kalaupun membuka salon di rumahnya, itu sekedar buat mencari kesibukan.
Apalagi sang suami sering sekali keluar kota untuk mengawasi kilang minyak lepas pantai sebuah perusahaan asing ternama tempatnya berkerja. Suaminya itu bernama Widyo, 53 tahun. Mereka tidak dikaruniai anak. Makanya mereka sering memanjakanku dan menganggapku sebagai anak sendiri.
Tapi sepertinya aku bukan anak yang baik (maafkan aku, Om, Tante). Karena jika Tante Nita datang ke rumah, aku suka memperhatikannya lumat-lumat. Salah sendiri. Wanita bersuara merdu-mendesah itu memang sering berpakaian seksi. Wajar bila insting kelaki-lakianku membuncah liar, tak peduli umur si tante sepantaran mamaku.
Yang paling membuat aku tidak tahan adalah kalau Tante Nita datang ke rumah mengenakan baju tanpa lengan. Pernah suatu kali kulihat ia mengangkat lengannya untuk membetulkan rambut. Uuuh… sangat ingin rasanya kubenamkan mukaku di ketiak yang mulus-montok itu, sembari mencium dan menjilatinya.
Aku baru duduk di bangku kelas 2 SMP, sedang puber, dan rasa tertarik terhadap lawan jenis pun sangat tinggi. Namun entah kenapa dengan teman cewek di sekolah aku tidak tertarik sedikitpun. Sedangkan dengan Tante Nita ketertarikanku tak terbendung.
Suatu hari, sekolah bubar lebih pagi karena ada rapat guru. Sewaktu aku sampai di rumah, kulihat Tante Nita bersama Mama ada di teras. Rupanya ia sudah lama bertamu dan hendak pulang. Tapi akibat ulah adikku satu-satunya yang suka membiarkan mainannya berantakan di teras, si tante terpeleset. Untung Mama sempat menahan tubuh indah itu hingga tidak jatuh.
“Roy, bantu papah Tante Nita. Gara-gara mainan adik kamu tuh….” kata mama, sedikit cemas melihat tante Nita nyengir kesakitan.
Aku pun segera melempar tas sekolah dan memapah Tante Nita. Tangannya melingkar di pundakku. Begitu lengannya terangkat, ketiak yang terbuka karena ia pakai you can see itu langsung menebar aroma wangi nan menusuk hidung. Kontan saja jantungku berdegup keras.
Tante Nita minta langsung diantar pulang. Jadi apa boleh buat, kami berangkulan terus menuju rumahnya yang cuma berbatas tembok pagar dengan rumahku itu. Terasa sekali lembutnya kulit lengan dan ketiak hangatnya di tengkukku.
Perjalanan itu terasa sangat lama. Napasku sampai ngos-ngosan. Bukan karena menahan berat tubuhnya, melainkan karena birahi yang bergejolak dahsyat dalam diriku. Tapi aku tidak berani berbuat apa-apa.
Akhirnya sampai. Aku mendudukkan Tante Nita di sofa ruang tamunya. Yang asyik, pada saat ia mengangkat tangan, hendak melepaskan rangkulannya dari pundakku, aku sedang memalingkan wajah pada mukanya. Praktis, muka dan hidungku tepat membentur ketiak putih mulus itu.
“Uuuuff… maaf, Tante, nggak sengaja,” ucapku spontan. Rasa takut dan malu berbaur. Tapi, terus terang, sedap sekali aroma parfum bercampur keringat itu.
“Nggak apa-apa, Roy. Untung ada kamu yang bantuin Tante. Lagian, kamu emang suka kan? Tante tahu kok,” katanya sambil tersenyum.
“Hmm… ehh…nggg iya… anu, Tante, aku pulang dulu ya… Lapar nih…” tukasku. Langsung cabut. Mati aku. Ternyata selama ini Tante Nita juga memergoki kelakuanku yang suka mencuri pandang ketiaknya. Aduh, jangan-jangan Tante Nita akan bilang Mama soal ini.
Sampai rumah, aku langsung masuk kamar. Kubuka seragam sekolahku. Kuciumi bagian pundak dan kerah bajuku.
Ooooh… Ternyata masih tertinggal aroma ketiak wanita hot itu. Aku terangsang hebat siang itu. Tapi sekaligus menjadi rileks dalam waktu bersamaan. Sehingga untuk sementara, rasa takut Tante Nita akan melapor pada Mama terlupakan.

Bersambung ke part -2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar