Selasa, 15 Februari 2011

Ketiak Tante Nita (part 2)

Semenjak kejadian itu, aku selalu menghindari bertemu Tante Nita di rumah. Setiap pulang sekolah, aku keluyuran dulu ke mal, menunggu sampai sore, baru pulang. Aku jadi sering ditegur Mama. Alasanku sih karena ada kegiatan OSIS di sekolah. “Tante Nita dari kemarin nanyain kamu terus,” omel Mama. Darahku langsung berdesir. Jantung seakan berhenti berdetak. Jangan-jangan….
“Tuh! Kamu lihat di kamar, Tante Nita kasih bingkisan terima kasih buat kamu, udah bantuin dia waktu itu.”
Aku langsung menuju kamar. Ternyata Tante Nita mengado kaos. Sebenarnya ini bukan sesuatu yang istimewa. Pada momen-momen tertentu, seperti ulang tahunku, ia memang biasa membelikan aku sesuatu. Tante Nita sudah anggap aku sebagai anaknya sendiri.
Beberapa hari kemudian, Tante Nita datang ke rumah untuk arisan. Aku yang baru saja pulang, melihat Tante Nita sedang bertamu kontan merasa gembira. Aku menyapanya ramah. “Terima kasih kaosnya ya, Tant.”
“Halo, Roy,” Si tante tersenyum manis. “Ehhh, itu rambutnya dipotong dong, udah jelek, kepanjangan tuh.”
Aku yang semula mau masuk rumah jadi membatalkan niatku. Bukan karena kritikan Tante Nita. Tapi bersamaan dengan itu, kudengar Mama pamit ke Tante Nita untuk bersalin pakaian sebentar. Kesempatan!
Aku pun meletakkan pantatku di ruang tamu, menemani Tante Nita supaya tidak kesepian. “Kalau aku potong rambut di salon Tante, gratis nggak?”
Tante Nita tertawa renyah. “Iya deh, gratis. Khusus buat kamu.”
“Tapi aku ogah dipotong karyawan Tante. Pengennya Tante yang motong.”
“Eeh, karyawan Tante justru lebih jago lho,” ujarnya dengan suara yang merangsang sekali.
“Tapi kalau Tante yang motong, kan nggak pakai seragam karyawan. Aku kan seneng kalau yang motong rambutku wanita cantik dan seksi kayak Tante.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku. Aku sendiri agak kaget.
Namun aku lebih kaget dengan jawaban Tante Nita yang lempeng, “Iya deh, besok kamu datang sore-sore sekitar jam 5 ya.”
* * *
Jam 4.30 p.m. Salon itu masih dijejali beberapa orang, terutama para pegawainya. Begitu melihat aku, Tante Nita langsung nyamperin. Ia tidak langsung mempersilakanku duduk di kursi cukur, melainkan mengajak ngobrol dulu di sofa tunggu. Tante Nita seksi sekali. Seriuskah ia akan memotong rambutku dengan gaun tanpa lengan dan berleher lebar seperti ini? Uuh, mana tahan!
Ia menanyakan soal ibuku. Kayak sudah lama tidak bertemu saja, padahal baru kemarin dia bertemu Mama, lagipula kami kan tetangga dekat. Tapi oke deh, aku meladeni semua pembicaraan itu. Bagaimanapun, aku tidak memperhatikan apa yang diomongkannya. Perhatianku 100% tercurah pada dada, lengan dan ketiaknya.
Tidak lama, pegawai salonnya berbenah untuk menutup salon. Satu per satu mereka pamit pulang. Sementara Tante Nita masuk. Sekitar dua menit kemudian dia muncul kembali dari ruang dalam dan, “Ayo, Roy, ntar keburu malem.”
Aku menurut. Kupilih kursi cukur paling pojok. Begitu duduk di sana, Tante Nita sigap menyelimutiku dengan jubah tipis yang fungsinya melindungi pelanggan dari potongan-potongan rambut.
Saat itu juga kurasakan aroma tubuh Tante Nita. Wangi itu terhirup oleh hidungku, lantas menimbulkan rangsangan yang membuat ritme detak jantungku bak roller coaster. Apalagi aku kini juga leluasa memandangi ketiaknya yang hanya beberapa senti saja di depan mukaku.
“Kok diam saja?” ujar Tante Nita di waktu angan jorokku sedang mengembara entah kemana.
“J… jangan kependekan ya, Tant,” ujarku dengan suara berat akibat napas yang memburu.
“Jadi,” tangan Tante Nita mulai lincah menari-nari di atas kepalaku, “kamu mau potong soalnya pengen ngelihat Tante pakai baju seksi gini ya? Nakal, ini! Ntar Tante bilangin mama kamu lho.”
“Jangan dong… Kalau Mama tahu bisa habis aku dihajar. Please ya, Tant!” pintaku memelas. Memang ada rasa takut jika tetanggaku yang bahenol ini benar-benar menceritakannya kepada ibuku. “Eh, Tant! Aku mau terus terang, tapi…”
“Terus terang apa, Roy? Serius banget,” sahut Tante Nita. Aduh, sekarang dia berada di samping kiriku. Otomatis ketiak kirinya menghampar jelas di depanku, secara langsung maupun dari cermin. Aroma itu sungguh membangkitkan insting kelaki-lakianku.
“Aku potong ini cuma karena pengen memandangi keseksian Tante dari dekat. Nggak tahu kenapa, aku demen banget lihat Tante berpakaian tanpa lengan….” ujarku dengan napas sesak. Rasanya kesadaranku telah hilang, inginnya nekat saja membenamkan mukaku di ketiak putih gempal yang tak berambut itu.
Kulihat lewat cermin, Tante Nita mendelik, “Ada apa dengan ketek Tante, heh!?” Yang menarik, kutangkap juga wajahnya yang memerah mendengar pengakuanku tadi. Namun aku merasa nyaman di sini. Sebab ternyata Tante Nita pandai menetralisir suasana, sehingga aku tidak lagi gugup dan takut.
Proses gunting rambut pun selesai. Aku merasa waktu berlalu terlalu cepat. Menyesal rasanya tidak menggunakan kesempatan itu untuk meminta ijin mencium ketiak matang itu. Tahu betapa pemandangan menggairahkan itu berakhir, kecewa berat rasanya.
Setelah melepas jubah penutup tubuhku, Tante Nita berdiri di samping depanku sambil mematut-matut rambutku. “Gimana, suka nggak?” tanyanya.
“Yaaaa… suka aja, Tante. Cuma yang sebelah kiri agak kependekan deh kayaknya …” kataku asal saja.
Tiba tiba Tante Nita memegang kedua sisi rambutku, masih berdiri di depanku, dengan begitu otomatis kedua ketiaknya kembali terbuka dan bisa kutatap. Aaahhh, mungkin itu kesempatan terakhirku untuk hari ini. Maka aku pun tidak mau melewatkannya barang sedetik pun.
“Enggak gini lho, Roy, ini udah balance… Eh, Roy? Hei, kamu kok kayak orang kesambet gitu?”
“Ng… enggak kok, Tante, aku cumaa…” ucapku, kaget begitu sadar kalau Tante Nita ternyata lagi bicara. Segera kualihkan pandangan dari ketiak itu.
“Hmmm…. Tante tahu, kamu ini benar benar nakal dan suka yaaa…….” godanya. Tanpa kuduga sama sekali, sekonyong-konyong Tante Nita maju dan dalam sekejap ketiak kanannya sudah berada di mukaku.
Aku gelagapan.
Lengan kanan itu memeluk muka dan melingkar ke kepala bagian belakakangku.
“Ayooo, kamu pandangin sepuasnya deh. Sekarang Tante kasih, mau kamu apain ketek ini? Terserah.”
“Tanteeee…” hanya itu yang sanggup kuucapkan dari celah ketiak itu. Aku terbekap oleh wangi yang sungguh menusuk, tidak cuma hidung, melainkan juga jantung. Dadaku pun berdebar kencang.
“Cium aja, Roy, ciuuuum… Nggak tega Tante ngelihat kamu ngelamun gitu terus.”
Ketiak idamanku itu sekarang betul-betul menempel di hidung dan bibirku. Aku coba untuk mengecupnya. Aku hirup aromanya dalam-dalam. Aku melayang. Badan terasa enteng, hidup terasa tanpa ada persoalan apa-apa.
Tante Nita lalu mengusapkan ketiak itu ke seluruh mukaku dengan lembut. Peristiwa bersejarah itu seingatku berlangsung sekitar empat sampai lima menit. Namun, ah, jangan percaya aku. Orang yang sedang melayang tinggi mana tahu waktu.

1 komentar: